Ada Titik Terang Soal Sengketa Tanah Kota Masohi

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Ada Titik Terang Soal Sengketa Tanah Kota Masohi

Senin, 30 Juli 2018

MASOHI Liputan Maluku- Masalah sengketa tanah di Kota Masohi sebagai ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah dengan luas 600 Hektar, antara Pemkab Maluku Tengah dengan masyarakat adat Negeri Amahai Kecamatan Amahai kini mulai ada titik terang dalam penyelesaiannya, baik yang bersifat hibah maupun tanah milik perseorangan atau marga.

Hal tersebut terungkap dalam rapat dengar pendapat antara DPRD Malteng dengan Pemerintah dan Saniri Negeri Amahai serta Masyarakat adat Negeri Amahai, bersama Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Assisten I Setda Malteng, Kepala Bagian Hukum serta Camat Kota Masohi, Sabtu (28/7/2018).

Sementara masyarakat Negeri Amahai diwakili oleh perwakilan LSM Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia-Kawasan Laut Hutan dan Industri (LPLHI-KLHI) yang berpusat di Jakarta.

Rudolf Lailossa, SH Wakil Ketua DPRD Malteng sebagai pimpinan rapat dengar pendapat tersebut menyatakan, pernyataan Bupati Tuasikal Abua, SH yang disampaikan Kepala Kesbangpol saat aksi demo oleh masyarakat adat Amahai pada Kamis 26 Juli 2018/07 bahwa, kalau masyarakat tidak senang dan sangat berkeberatan maka sebaiknya masyarakat melakukan gugatan ke pengadilan, merupakan pernyataan yang sungguh tidak wajar.

Menurutnya, luas tanah 600 Hektar tersebut ada sebagian tanah yang diberikan secara cuma-cuma (hibah) untuk perluasan dan pembangunan Kota Masohi, namun juga ada tanah yang menjadi milik perseorangan atau marga yang dikebiri oleh Pemda dalam perkembangan kota tersebut.

Namun dalam perjalanannya, tanah yang menjadi perluasan Kota Masohi akan dijadikan milik perorangan tertentu di jajaran Pemkab, bahkan sampai terjadi proses jual beli tanah dalam Kota Masohi yang dilakukan oleh para pejabat di daerah itu.

"Atas dasar apa sehingga terjadi proses jual beli yang semakin fundamental, bahkan anehnya lagi kalau sebagian besar tanah Kota Masohi yang dimiliki oleh pejabat maupun perorangan bisa memiliki status tanah yang bersertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku Tengah,"kesalnya.

Serta Alas hak apa yang digunakan oleh para pejabat ataupun perorangan dalam pembuatan sertifikat tersebut, tanya Lailossa sembari membenarkan kalau seseorang yang akan memperoleh sertifikat seharusnya memiliki alas hak dari marga yang memiliki hak ulayat yang dikeluarkan dan disetujui oleh Pemerintah Negeri Amahai,"ucapnya.

Dalam dengar pendapat tersebut seluruh anggota DPRD yang hadir sangat menyayangkan ulah Pemab Malteng yang tidak mau menyelesaikan sengketa tanah adat tersebut, mengingat luas tanah 600 Hektar tersebut dimiliki oleh masyarakat adat Negeri Amahai, Rutah Haruru.

Menyikapi hal ini, DPRD Malteng siap melakukan mediasi dan penyelesaian sengketa tanah Kota Masohi antara Pemkab dengan masyarakat adat ketiga negeri baik yang sifatnya Hibah, maupun yang bersifat kepemilikan perseorangan atau marga.

"Pada prinsipnya DPRD menilai ada kejanggalan yang terjadi dalam masalah tanah Kota Masohi, dan ada norma hukum yang sengaja ditabrak oleh Pemda Malteng yang di perjual belikan,"ucapnya.

Untuk itu, dalam waktu dekat DPRD akan memanggil Bupati Tuasikal Abua, SH guna duduk satu meja bersama Pemerintah Negeri Amahai, Haruru dan Rutah bersama masyarakat ketiga negeri, untuk melakukan pendataan terhadap tanah-tanah yang ada dalam Kota Masohi baik yang sifatnya hibah maupun yang sifatnya perorangan atau marga.

"Prinsipnya DPRD akan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang tersolimi selama 61 tahun oleh Pemda Malteng,"janjinya.(TM08)