Masohi, Liputan Maluku : Penyelesaian sengketa tanah masyarakat adat Negeri Amahai yang mencapai 600 Hektar untuk pembangunan dan perluasan Kota Masohi sebagai ibu kota kabupaten Maluku Tengah sejak tahun 1957 hingga saat ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah Malteng di bawah kepemimpinan Bupati Tuasikal Abua,SH.
Hal ini membuat masyarakat adat negeri Amahai yang memiliki hak ulayat bersama kuasa hukumnya melakukan aksi demo di Kantor Bupati Malteng, Kamis (26/7).
Dalam orasinya, masyarakat menuntut agar bupati Tuasikal Abua,SH dapat menyelesaikan hak-hak mereka atas tanah adat yang kini dimiliki dan digunakan oleh Pemkab Malteng guna melakukan pembangunan dan perluasan Kota Masohi sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tengah.
Namun dalam aksi demo tersebut terkesan kalau sang bupati tidak menerima para pendemo,
Bupati Malteng Tuasikal Abua,SH melalui Kepala Kesbangpol Drs. M. Pattimura menyampaikan kepada para aksi demo agar lebih baik menggugatnya ke pengadilan negeri Masohi.
"Menurut pak bupati yang baru disampaikan kepada saya, bahwa sebaiknya masyarakat negeri Amahai melakukan gugatan ke pengadilan saja," ucap Pattimura.
Menyikapi tindakan bupati yang dinilai arogan, masyarakat negeri Amahai yang melakukan aksi demo tersebut menilai kalau bupati Malteng Tuasikal Abua bukan menjadi pemimpin yang baik dan bukan menjadi bapak bagi masyarakatnya di Malteng termasuk di negeri Amahai.
Sementara itu Kepala divisi dan Advokasi LSM Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia-Kawasan Laut, Hutan dan Industeri (LPLHI-KLHI) Jainudin dalam orasinya mengatakan sangat naïf kalau kepala daerah malteng Bupati Tuasikal Abua,SH tidak menerima masyarakat.
Aksi demo guna mencari solusi terhadap apa yang menjadi tuntutan rakyat negeri Amahai, Bupati mengambil jalan pintas untuk meminta masyarakat melakukan gugatan ke pengadilan.
Inikan aneh tapi nyata, ucap Jainudin, sambil membenarkan kalau tuntutan ini juga disampaikan ke Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara dalam aksi demo pada 27 Agustus 2018 mendatang.
"Kami sebagai orang yang dikuasakan oleh masyarakat adat negeri Amahai akan menyampaikan aspirasi dan tuntutan kami kepada pemerintah pusat melalui Presiden RI dan juga menteri Agraria atas sengketa lahan tanah adat negeri Amahai terhadap pemerintaha Daerah Malteng yang sejak tahun 1957 hingga kini belum terselesaikan," ungkap Jainudin.
Dia menambahkan yang sangat aneh lagi bahwa tanah ulayat masyarakat yang belum di selesaikan oleh pemerintah daerah Malteng, namun Bupati Malteng Tuasikal Abua bisa memerintahkan jajaran Kantor Pertanahan Maluku Tengah untuk menerbitkan satu sertifikat terhadap sebidang tanah yang berlokasi di samping salah satu toko bangunan dengan mengatasnamakan isteri sang bupati.
"Inikan namanya perampasan hak adat masyarakat negeri Amahai, kami akan mempertanyakan sertifikat yang dimiliki oleh masyarakat yang ada di kota Masohi," kata Jainudin.
Jainuddin menambahkan sampai saat ini tidak ada alas hak yang diterbitkan atau diberikan dari pemerintah negeri kepada pemerintah daerah Mataupun kepada masyarakat yang ada di kota Masohi.(TM 08)
Hal ini membuat masyarakat adat negeri Amahai yang memiliki hak ulayat bersama kuasa hukumnya melakukan aksi demo di Kantor Bupati Malteng, Kamis (26/7).
Dalam orasinya, masyarakat menuntut agar bupati Tuasikal Abua,SH dapat menyelesaikan hak-hak mereka atas tanah adat yang kini dimiliki dan digunakan oleh Pemkab Malteng guna melakukan pembangunan dan perluasan Kota Masohi sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tengah.
Namun dalam aksi demo tersebut terkesan kalau sang bupati tidak menerima para pendemo,
Bupati Malteng Tuasikal Abua,SH melalui Kepala Kesbangpol Drs. M. Pattimura menyampaikan kepada para aksi demo agar lebih baik menggugatnya ke pengadilan negeri Masohi.
"Menurut pak bupati yang baru disampaikan kepada saya, bahwa sebaiknya masyarakat negeri Amahai melakukan gugatan ke pengadilan saja," ucap Pattimura.
Menyikapi tindakan bupati yang dinilai arogan, masyarakat negeri Amahai yang melakukan aksi demo tersebut menilai kalau bupati Malteng Tuasikal Abua bukan menjadi pemimpin yang baik dan bukan menjadi bapak bagi masyarakatnya di Malteng termasuk di negeri Amahai.
Sementara itu Kepala divisi dan Advokasi LSM Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia-Kawasan Laut, Hutan dan Industeri (LPLHI-KLHI) Jainudin dalam orasinya mengatakan sangat naïf kalau kepala daerah malteng Bupati Tuasikal Abua,SH tidak menerima masyarakat.
Aksi demo guna mencari solusi terhadap apa yang menjadi tuntutan rakyat negeri Amahai, Bupati mengambil jalan pintas untuk meminta masyarakat melakukan gugatan ke pengadilan.
Inikan aneh tapi nyata, ucap Jainudin, sambil membenarkan kalau tuntutan ini juga disampaikan ke Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara dalam aksi demo pada 27 Agustus 2018 mendatang.
"Kami sebagai orang yang dikuasakan oleh masyarakat adat negeri Amahai akan menyampaikan aspirasi dan tuntutan kami kepada pemerintah pusat melalui Presiden RI dan juga menteri Agraria atas sengketa lahan tanah adat negeri Amahai terhadap pemerintaha Daerah Malteng yang sejak tahun 1957 hingga kini belum terselesaikan," ungkap Jainudin.
Dia menambahkan yang sangat aneh lagi bahwa tanah ulayat masyarakat yang belum di selesaikan oleh pemerintah daerah Malteng, namun Bupati Malteng Tuasikal Abua bisa memerintahkan jajaran Kantor Pertanahan Maluku Tengah untuk menerbitkan satu sertifikat terhadap sebidang tanah yang berlokasi di samping salah satu toko bangunan dengan mengatasnamakan isteri sang bupati.
"Inikan namanya perampasan hak adat masyarakat negeri Amahai, kami akan mempertanyakan sertifikat yang dimiliki oleh masyarakat yang ada di kota Masohi," kata Jainudin.
Jainuddin menambahkan sampai saat ini tidak ada alas hak yang diterbitkan atau diberikan dari pemerintah negeri kepada pemerintah daerah Mataupun kepada masyarakat yang ada di kota Masohi.(TM 08)
